PENANDATANGAN NOTA KESEPAHAMAN (MOU) DAN PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA KOMISI KEJAKSAAN RI DENGAN UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA DILANJUTKAN DENGAN FOCUS GROUP DISCUSION IMPLEMENTASI ASAS DOMINUS LITIS DALAM RUU KUHAP

Berita Terbaru
Dokumentasi Penandatangan MoU

Pada hari Selasa tanggal 26 September 2023 di Hotel Cipta Pancoran, Jakarta Selatan telah dilaksanakan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Ketua Komisi Kejaksaan RI  (Bapak Dr. Barita Simanjuntak, S.H,M M.H., CFrA.) dengan Rektor Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma (Bapak Marsekal Muda TNI (Purn) Dr. Sungkono, S.E., M.Si., yang dilanjutkan dengan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Dekan Fakultas Hukum UNSURYA (Ibu Dr. Niru Anita Sinaga, S.H., M.H.) dengan Ketua Komisi Kejaksaan RI.

Dokumentasi Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS)

Perjanjian Kerja Sama tersebut meliputi bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan serta Pengabdian Pada Masyarakat sebagai wujud Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam sambutannya Ketua Komisi Kejaksaan RI mengungkapkan bahwa kerjasama antara Fakultas Hukum Unsurya dan Komisi Kejaksaan RI dilaksanakan sebagai strategi yang ditempuh dengan menggerakkan partisipasi masyarakat melalui Perguruan Tinggi. Ketua KKRI berharap pelaksanaan kegiatan dari Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama tersebut  nantinya benar-benar dapat diwujudkan atau direalisasikan.  Bapak Rektor Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma dalam sambutannya menyambut baik penandatanganan MoU dan PKS serta pelaksanaan FGD dengan harapan agar FGD yang dilaksanakan dapat bermanfaat memberikan masukan dalam RUU KUHAP terkait implementasi Asas Dominus Litis dalam RUU KUHAP. Adapun Dekan Fakultas Hukum UNSURYA berharap agar pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama dan Focus Group Discussion (FGD) dapat bermanfaat bagi pembahasan bagi RUU KUHAP.

Setelah Penandatanganan Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dilanjutkan dengan Focus Group Discusion (FGD) dengan tema “Memperkuat Norma Hukum Penerapan Asas Dominus Litis pada RUU KUHAP dalam Permasalahan Bolak-Balik Perkara dan Kasus-Kasus yang Mengambang pada Tahap Prapenuntutan”.  FGD kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma dengan Komisi Kejaksaan RI menampilkan tiga Narasumber (Pemantik Diskusi), yaitu Marsda TNI (Purn) Dr.  Sujono, SH, MH, Dosen/Wakil Dekan Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, Bambang Widarto, SH, MH (Komisioner dan Sekretaris KKRI) dan Danang Suryo Wibowo, SH, LLM / Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Marsda TNI (Purn) Dr.  Sujono, SH, MH, Dosen/Wakil Dekan Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma menyampaikan bahwa peran Jaksa adalah yang mewakili kepentingan masyarakat (representative), jaksa yang imparsial, independen menegakkan hukum prinsip negara hukum (legal democracy), Jaksa mempromosikan nilai demokrasi, kebebasan dan kesetaraan (liberal democracy), dan jaksa mengamankan kepentingan korban dan masyarakat umum (participatory democracy).  Keempat peran Jaksa dihadapkan kompleksitas kejahatan dan kejahatan global serta tuntutan publik akan speedy trial memerlukan penguatan asas dominus litis dengan harapan dapat memitigasi lambatnya/bolak baliknya   berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum dengan politik hukum pidana memberi kewenangan jaksa untuk melakukan pemeriksaan tambahan.  Lebih lanjut Dr Sujono menyampaikan untuk pencegahan secara efektif bolak balik perkara adalah dengan melibatkan Jaksa sejak awal, sejak dimulainya penyidikan, karena Jaksalah yang akan membuktikan perkara di pengadilan, dan dalam pra penuntutan jaksa diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan tambahan.

Danang Suryo Wibowo, SH, LLM / Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menyampaikan bahwa alasan perlu diperkuatnya asas dominus litis dalam RUU KUHAP adalah untuk peningkatan perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia bagi tersangka, terdakwa, saksi (korban) guna meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.  Pengaturan yang lebih rinci tentang ganti kerugian terhadap korban (restitusi) dan pemaafan peradilan (judicial pardon) dapat meningkastkan kepastian hukum dan pemberantasan kejahatan.  Dominus Litis dalam RUU KUHAP adalah konsep menempatkan Jaksa sebai penuntut umum yang memiliki kewenangan mutlak untuk melakukan penuntutan dan penyelesaian perkara pidana. Dengan konsep ini diharapkan permasalahan bolak balik perkara dan kasus-kasus yang mengambang (floating cases) pada tahap pra penuntutan dapat diselesaikan dengan tuntas. Untuk hal tersebut juga diperlukan pengawasan internal dan eksternal yang efektif dan responsif terhadap Jaksa sebagai dominus litis untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Bambang Widarto, SH, MH, narasumber dari Komisioner/Sekretaris  Komisi Kejaksaan RI yang juga sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma antara lain menyampaikan bahwa asas dominus litis terdapat dalam The United Nations Guidelinines On The Role of Procecutors of 1990 yang pada intinya Jaksa adalah pengendali proses perkara pidana (asas dominus litis). Dengan masih sering terjadinya bolak balik perkara dan kasus yang mengambang pada tahap pra penuntutan.  Bambang Widarto berpendapat masih banyaknya kelemahan norma tahap pra penuntutan dalam RUU KUHAP, antara lain Pasal 109 ayat (1) belum mengatur secara berkepastian hukum waktu yang pasti dari pelaksanaan pemberian SPDP, sebaiknya Penuntut Umum dilibatkan dari awal  dimulainya penyidikan, Pasal 110 ayat 3 KUHAP belum mengatur berapa kali dapat mengembalikan hasil penyidikan.  Selain hal tersebut disampaikan bahwa Jaksa diberikan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik (UU Kejaksaan), namun demikian terdapat kendala tidak dapat dilakukan terhadap tersangka, dan hanya dibatasi selaama 14 hari. Dalam Hukum Positif Pasal 39 huruf b UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan menyatakan: : Dalam hal penyidikan belum lengkap, penuntut umum wajib melakukan penyidikan paling lama 20 hari dn dapat diperpanjang paling lama 30 hari. Dalam akhir paparannya, Bambang Widarto menyampaikan bahwa dalam Hukum Positif Pasal 39 huruf b UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan diatur ketentuan bahwa dalam hal penyidikan belum lengkap, penuntut umum wajib melakukan penyidikan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari.  Ketentuan Pasal 39 huruf b UU Nomor 18 Tahun 2013 tersebut sudah diterapkan dalam beberapa kasus dan disarankan dapat digunakan sebagai implementasi penguatan asas dominus litis dalam RUU KUHAP.

Jakarta,   September 2023

 

Related Images:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.